Senin, 8 Desember 2025
Meneguhkan Khazanah Kebangsaan, Ketika Nilai Qur’an dan Sunnah Menjiwai Pancasila & UUD 1945
Berita

Meneguhkan Khazanah Kebangsaan, Ketika Nilai Qur’an dan Sunnah Menjiwai Pancasila & UUD 1945

Minggu, 2 November 2025
09:00 WIB
337 views
Meneguhkan Khazanah Kebangsaan, Ketika Nilai Qur’an dan Sunnah Menjiwai Pancasila & UUD 1945

Narasumber Webinar Internasional (dari kiri atas): DR. K.H. Aswin Rose Yusuf, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Prof. H. Sjafri Sairin, M.A., Ph.D., Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah. 

Panelis yang turut hadir di antaranya (dari kiri bawah): Prof. Dr. H. Mohammad Hatta M.A., Prof. Ir. Teddy Mantoro, M.Sc. Ph.D. SMIEEE., Prof. Dr. der. Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, dan Prof. Dr. H. Muhammad Attamimy, M.Ag.



Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, berdiri di atas fondasi yang unik. Sebuah rumah yang dibangun dengan pilar nilai-nilai keagamaan, terutama Islam yang memiliki dua sumber pusaka abadi: Al-Qur’an dan Sunnah, serta konsensus kebangsaan: Pancasila dan UUD 1945. Keempat pilar ini disepakati bersama oleh para pendiri bangsa.


Di tengah tantangan global, polarisasi sosial, dan krisis moral muncul pertanyaan penting, bagaimana sesungguhnya peran umat Islam Indonesia melalui dua pusaka abadi, Al-Qur’an dan Sunnah, dapat diimplementasikan dan diamalkan secara optimal dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945? Gagasan dan keresahan ini menjadi fokus Webinar Internasional Agama Islam yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Islamiyah (DPP JmI) secara daring melalui Zoom, Minggu, (2/11/2025), dengan tema “The Role of the Indonesian Muslims Through the Two Eternal Legacies of the Qur’an and Sunnah Based on the Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia” (Peran Umat Islam Indonesia Melalui Dua Pusaka Abadi Qur’an dan Sunnah Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945).


Forum ini menjadi ruang refleksi bagi para cendekiawan, akademisi, dan pemikir muslim dari berbagai negara untuk menegaskan kembali keselarasan nilai-nilai Islam dengan dasar negara Indonesia. Di antara narasumber hadir Prof. Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang 1997-2013), Prof. H. Sjafri Sairin, M.A., Ph.D. (antropolog UGM Yogyakarta), Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah (anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP ), dan DR. K.H. Aswin R. Yusuf (Pembina JmI), serta para panelis lintas disiplin, seperti Prof. Dr. H. Mohammad Hatta, M.A., Prof. Ir. Teddy Mantoro, Ph.D., dan Prof. Dr. der. Soz. Gumilar Rusliwa Somantri.


Dalam pengantar yang menyejukkan, Prof. Imam Suprayogo mengajak peserta untuk melihat realitas umat Islam dengan jujur: mayoritas secara jumlah, tetapi masih bergulat dengan problem moral dan etika publik. Menurutnya, hal ini terjadi karena agama sering dipahami sebatas ucapan dan aktivitas lahir, bukan sebagai gerak ruh yang menertibkan hati. Prof. Imam kemudian menegaskan bahwa “Umat Muhammad” bukan sekadar identitas sosial, tetapi predikat batin yang ditandai oleh pengamalan sifat-sifat profetik: sidik, amanah, tablig, dan fatanah dalam kehidupan sehari-hari.


Dari sudut pandang antropologis, Prof. Sjafri Sairin menyoroti fenomena umum di masyarakat yang sibuk dengan simbol agama, tetapi rapuh di dalam moralitas. Padahal, inti ibadah adalah transformasi akhlak, bukan sekadar pelaksanaan syariat. Ia menegaskan bahwa sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekadar slogan, melainkan fondasi spiritual yang menjiwai seluruh sila lainnya. “Sila Pertama seharusnya menjadi matahari yang menerangi seluruh aspek kehidupan, bukan sekadar ritual yang terkurung di ruang ibadah,” imbuhnya.


Prof. Amin Abdullah memperdalam pembahasan dengan mengangkat jurang besar antara cita-cita konstitusi dan kenyataan hidup sehari-hari bangsa. Menurutnya, masalah utama bukan pada Pancasila, tetapi pada ketidakterhubungan batin manusia dengan sumber kebenaran. Di sinilah JmI memberi kontribusi khas, mengingatkan bahwa manusia menjadi sempurna bukan karena ilmu atau jabatan, tetapi karena ditiupkan ruh oleh Allah. Ruh inilah yang menjadi pembawa cahaya, pendengar kebenaran, dan penuntun kepada akhlak, ungkapnya.


“Tanpa kesadaran pada hakikat ruh, manusia mudah terjebak dalam inkonsistensi moral yang ditegur Al-Qur’an,“Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat?”, terangnya. Oleh sebab itu, tegas Prof. Amin, nilai Al-Qur’an dan Sunnah yang selaras dengan Pancasila tidak boleh dipisahkan. Keduanya hanya dapat dihayati secara benar bila manusia kembali pada suara hati yang bersih melalui ruhani yang dibimbing oleh Tuhannya.


Menutup webinar ini, DR. K.H. Aswin R. Yusuf mengajak peserta merenungi kembali hakikat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang disempurnakan dengan ruh. Dari kesadaran ruhani itulah lahir ketakwaan yang menjadi ukuran kemuliaan di sisi Allah. Lebih lanjut, Pembina menegaskan, agama dengan Pancasila dan UUD 1945 itu selaras. Keduanya sama-sama tidak dapat ditinggalkan. Sebagai warga negara tentu kita harus mengikuti Pancasila dan UUD 1945. Namun, sebagai umat Islam, tentu kita berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. “Ketika keduanya berjalan seimbang, maka tegaklah Indonesia sebagai negeri yang beriman dan beradab,” pesan Pembina.


Diskusi berlangsung hangat dan penuh semangat intelektual. Lebih dari 2.800 peserta dari dalam dan luar negeri bergabung secara daring melalui Zoom, menandakan besarnya perhatian terhadap tema yang menghubungkan dimensi spiritual dan kebangsaan ini. Dari forum itu mengalir sebuah kesimpulan yang terasa sebagai doa bersama bahwa Islam dan Pancasila bukan dua jalan yang berseberangan, melainkan dua cahaya yang berpadu untuk menerangi perjalanan bangsa menuju masa depan yang adil, maju, dan bermartabat.

Bagikan Berita Ini