
Narasumber Workshop (dari kiri bawah): DR. K.H. Aswin R. Yusuf, Dato’ Dr. Afifi Al-Akiti, Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, dan Prof. Dato’ H. Shushilil Azam b Shuib.
Angin musim gugur Oxford menyambut langkah kecil, tetapi penuh makna dari rombongan akademisi dan tokoh Muslim asal Indonesia dan Malaysia. Dari Jakarta dan Kuala Lumpur, mereka menempuh perjalanan panjang menuju London, membawa satu semangat yang sama: memperkuat pesan Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam. Kunjungan itu bermula dari inisiatif Dewan Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Islamiyah (DPP JmI) yang ingin memperluas dialog pemikiran lintas bangsa melalui forum internasional.
Setelah menempuh perjalanan panjang sejak Minggu (5/10/2025) dan tiba di London keesokan harinya, rombongan yang terdiri dari Pembina JmI, DR. K.H. Aswin R. Yusuf, bersama akademisi Indonesia Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah dan perwakilan Malaysia Prof. Dato’ H. Shushilil Azam b Shuib, melangkah ke kota pendidikan dunia, University of Oxford. Di sinilah, di Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), terselenggara Workshop Internasional bertajuk “The Islamic Thought, Universal Peace and Tolerance” (Pemikiran Islam, Perdamaian Universal dan Toleransi), Selasa (7/10/2025).
Forum ini menjadi ruang intelektual lintas bangsa yang mempertemukan pemikir Islam dari berbagai negara untuk menjawab satu pertanyaan besar: bagaimana Islam dapat terus menjadi kekuatan moral dan spiritual bagi perdamaian dunia di tengah derasnya arus globalisasi dan konflik kemanusiaan.
Workshop berlangsung secara luring di OCIS dan daring melalui Zoom, diikuti lebih dari 1.690 peserta dari berbagai negara. Hadir para akademisi, peneliti, dan tokoh agama dari Inggris, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.
Prof. Azam membuka forum dengan nada reflektif. Ia menegaskan bahwa perdamaian sejati berawal dari kesadaran diri, sebuah proses introspektif sebagaimana diajarkan Islam. “Sebelum menilai orang lain, setiap manusia diperintahkan untuk menilai dirinya sendiri,” ujarnya. Bagi Prof. Azam, perdamaian bukan sekadar kondisi sosial, melainkan hasil dari keseimbangan batin yang melahirkan keadilan, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab universal.
Sementara itu, Dato’ Dr. Afifi Al-Akiti, akademisi terkemuka dari University of Oxford, mengupas dimensi global dari ajaran Islam. Ia menegaskan bahwa keragaman bangsa, bahasa, dan budaya bukanlah sumber perpecahan, tetapi tanda kebesaran Allah sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat (49):13 dan Q.S. Al-Maidah (5):48. “Perbedaan adalah undangan untuk saling mengenal, bukan saling menjauh,” ujarnya. Ia menyebut konsep unity in diversity (persatuan dalam keberagaman) sebagai prinsip abadi yang sejalan dengan semangat Islam dan nilai kemanusiaan universal.
Prof. Amin Abdullah yang berasal dari Indonesia menyampaikan pentingnya menjaga harmoni antara perdamaian batin dan perdamaian sosial. Ia menyoroti fenomena global di mana umat cenderung loyal pada kelompoknya sendiri, tetapi kehilangan empati terhadap yang berbeda. Padahal, inti ajaran Islam justru terletak pada sinergi iman, Islam, dan qalbun salim.
Ditambahkan Prof. Amin, perdamaian sejati lahir ketika kesadaran spiritual diterjemahkan dalam tindakan sosial yang etis. Ia mengingatkan bahaya prasangka dan ucapan yang melukai, yang tanpa disadari bisa mengikis keutuhan masyarakat. “Kedamaian dimulai dari kemampuan mendengar suara hati,” ujarnya. Ia mengakhiri paparannya dengan ajakan untuk melakukan re-inventing religious understanding atau menghidupkan kembali pemahaman agama yang kontekstual, membumi, dan mampu menjawab tantangan kemanusiaan masa kini.
Sebagai penutup, DR. K.H. Aswin R. Yusuf menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin tercapai jika manusia mengenal dirinya dan menata hatinya. Mengutip Q.S. Al-Isra (17):14, beliau mengingatkan bahwa setiap manusia diminta membaca catatan amalnya sendiri, sebuah seruan untuk refleksi dan introspeksi. “Manusia diciptakan berbeda-beda bukan untuk saling membenci, tetapi untuk saling kenal-mengenal,” terang Pembina JmI. Lebih lanjut, beliau menegaskan, perdamaian dunia bukan hasil dari pemikiran, melainkan hasil dari kesadaran ruhani yang senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk dari Tuhannya.
Workshop internasional di Oxford ini menjadi bukti nyata bahwa Islam, dengan ajarannya yang universal, terus berperan sebagai kekuatan moral dunia. Antusiasme peserta dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa gagasan rahmatan lil-‘alamin bukan sekadar konsep teologis, melainkan juga kebutuhan nyata bagi umat manusia.
Dalam aula bersejarah Oxford Centre for Islamic Studies, gema pemikiran Islam yang penuh toleransi dan kasih sayang bergema lembut menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya lahir dari hati yang mengenal Tuhan dan manusia yang mengenal dirinya.